Rabu, 16 Februari 2011

Siapakah Aku?

Bencana alam yang terjadi seringkali memakan korban. Jika bencana tersebut terjadi dalam skala yang kecil dan jumlah korbannya juga tidak banyak, hal itu tidak menjadi masalah. Masalah baru akan timbul apabila skala bencana yang terjadi besar dan memakan banyak korban. Salah satu contohnya adalah meletusnya Gunung Merapi pada bulan oktober tahun lalu. Merapi mengalami siklus seratus tahunnya, dimana letusan yang terjadi lebih besar daripada letusa sebelumnya dan memakan waktu yang tidak sebentar. Daerah yang terkena dampak letusan cukup luas, meliputi banyak desa di tiga kabupaten yaitu Magelang, Sleman, dan Klaten. Dua letusan besarnya pada periode kemaren terjadi pada dini hari. Oleh karena itu, jumlah korbannya pun sangat banyak, mencapai lebih dari 130 orang. Lalu, bagaimana cara mengidentifikasikan lebih dari seratus korban yang kondisinya tidak semuanya bagus?




Proses identifikasi korban pada saat bencana bisa dibilang gampang-gampang sulit. Gampang, apabila kondisi korban tersebut masi utuh dan dapat dikenali dari wajah ataupun benda-benda yang melekat pada badan. Sulit, apabila korban tersebut ditemukan dalam kondisi yang tidak utuh dan tidak dapat dikenali bentuk aslinya, misalnya terbakar seperti pada korban merapi kemarin. Pada kasus bencana alam, proses pengidentifikasian korban disebut dengan Disaster Victim Identification (DVI). Identifikasi ini melibatkan banyak pihak, antara lain dokter antropologi forensic, dokter patologi forensic, dan odontologist. Dalam hal ini, seorang dokter forensic patologi bertugas untuk mengenali korban dengan memeriksa keadaan eksternal korban dan mengetahui sebab kematian dari si korban terserbut. Dokter antropologi forensik bertugas mengenali korban berdasarkan usiam jenis kelamin, ras, tinggi korban, asal keturunanm dan trauma pada tulang. Odontologist adalah seorang dokter gigi yang bertugas mengenali korban berdasarkan bentuk dan karakteristik gigi dari korban tersebut.



Di Indonesia, proses DVI mengikuti petunjuk atau guideline yang dikeluarkan oleh Interpol (International Police). Bukti-bukti  yang ditemukan dalam proses DVI dapat digolongkan menjadi 2, primary identifiers yang berupa sidik jari, catatan gigi, dan DNA serta secondary identifiers berupa catatan medis, barang-barang milik korban, dan foto. Ada 5 fase dalam proses DVI ini:

Fase 1: SCENE. Fase ini dilakukan di lokasi kejadian dengan mencari korban, bagian tubuh korban, barang-barang milik korban, membuat peta tentang area bencana, memberi label atan tanda, dokumentasi, dan meletakkan korban di kantong mayat.

Fase 2: MORTUARY. Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan terhadap korban yang sudah meninggal. Umumnya dilakukan di rumah sakit. hal-hal dilakukan antara lain:
  • Dokumentasi: Tidak hanya jenazah saja yang didokumentasikan, tetapi juga bagian tubuh dan juga barang-barang milik korban.
  • Pemeriksaan eksternal dan internal dari tubuh korban yang meliputi proses autpsi oleh seorang doker ahli patologi forensik.
  • Identifikasi ras, jenis kelamin, usia, dan tinggi tubuh (stature) oleh seorang dokter ahli forensik antropologi.
  • Pemeriksaan gigi oleh dokter forensik antropologi dan odontologist.
  • Mencatat potongan tubuh korban: bagian mana yang hilang, kanan atau kiri, atas atau bawah.
  • Mengambil sampel untuk pemeriksaan DNA (dari darah atau jaringan)
  • Mengambil foto ronsen tulang rahang atas dan bawah beserta giginya.


Fase 3: ANTEMORTEM DATA COMPILATION. Data-data ini diambil dari keluarga korban, teman-teman, dokter, ataupun dari dokter gigi. Data yang diambil meliputi tanda vital, karakteristik khusus, perhiasan, jam tangan, dan baju (untuk mencocokkan data sebagai identifikasi sekunder).

Fase 4: RECONCILLATION. Tahap ini dilakukan untuk mencocokkan data ante-mortem dan post-mortem. Biasanya, sering terjadi debat ketika terjadi ketidakcocokkan. Proses pencocokkan ini meliputi data identifikasi primer seperti gigi, sidik jari, DNA dan juga data identifikasi sekunder seperti barang-barang milik korban, catatan medis, foto, dan dokumen. Ketika semua data cocok, dokter-dokter akan menandatangani data dan bersiap untuk mengumumkan kepada keluarga korban.

Fase 5: RELEASE and DEBRIEF. Tahap ini adalah yang paling ditunggu dari para keluarga korban, yaitu saat dimana hasil dari proses identifikasi korban diumumkan dan jenazah dikembalikan kepada keluarganya, beserta dengan surat pengeluaran jenazah tersebut. Debrief berarti tugas DVI telah selesai dan semua dokumen dikumpulkan kembali.

Ya, proses mengidentifikasi korban bukanlah pekerjaan yang mudah. Sering kali dilema muncul, saat proses pengidentifikasian belum sepenuhnya selesai, tetapi pihak rumah sakit sudah dituntut untuk segera mengeluarkan pernyataan tentang hasilnya. Semuanya kembali lagi kepada kerjasama dari setiap anggota tim DVI agar proses identifikasi bisa terselesaikan dengan cepat.

Referensi:
Victim Identification, Interpol

Interpol Disaster Victim Identification Guide 1997

Lecture oleh Prof. drg. Etty Endriati, Ph.D tentang The Roles of Antrhopology in Disaster Victim Identification dan dr. Yudha Nurhantari, Ph.D, Sp.F tentang Management of Dead Body in Mass Disaster

Tidak ada komentar:

Posting Komentar